"Warisan Cek Lam Seng"
Daerah Jalan
Kemenangan III dekat Jalan Gajah Mada terletak di tengah-tengah kawasan yang
sering disebut sebagai Kota . Kawasan Kota yang juga bisa dibilang pecinannya Jakarta
mempunyai banyak sekali kekayaan di bidang kuliner yang tak terlepaskan dari
kehidupan masyarakat Jakarta. Salah satu dari kekayaan kuliner itu adalah Nasi
Ulam Betawi di halaman Kelenteng Toasebio.
![]() |
Gerobak Nasi Ulam Babe Misjaya di pintu Kelenteng Toasebio |
Dimulai pada tahun
1964, saat itu seorang pedagang nasi ulam keturunan Cina asal Kampung Bebek
(masih di daerah kota) bernama Cek Lam Seng mulai memperluas usaha nasi ulamnya
dengan mempekerjakan tiga orang pemikul bernama Syarif, Aheng dan Misjaya.
Ketiga orang pemikul ini menjadi andalan untuk menjajakan nasi ulam keluar
masuk kampung saat itu. Tahun 1965 Cek Lam Seng menghibahkan usaha pikulan nasi
ulam itu kepada ketiga pemikul tadi, dari pikulan beserta peralatan, modal
untuk membeli bahan makanan beserta resep asli diserahkan oleh Cek ini kepada pegawainya
untuk dapat mandiri meneruskan usaha ini.
![]() |
Babe Misjaya asal Tangerang, satu-satunya mantan pegawai Cek Lamseng yang masih bertahan berjualan nasi ulam |
Bapak Aheng salah
satu dari ketiga pemikul tadi sempat berjualan nasi ulam di bilangan Pasar Ikan
sampai akhir hayatnya, Pak Syarief sudah lama berhenti berjualan dan sekarang
menjadi Kyai di jawa, tinggal Bapak Misjaya, yang sampai sekarang masih
berjualan di Halaman Kelenteng Toasebio di Jalan Kemenangan III.
![]() |
Akulturasi dalam sepiring nasi ulam, komponen oriental cumi asin dan dendeng serta kacang tumbuk, hidangan smoor pengaruh Belanda, dan komponen lokal dari daun kemangi, emping dan kuah aromatik |
Bapak asal Tangerang
ini sekarang sudah tak perlu memikul dagangannya , dengan dibantu 4 orang
pegawainya, dia sekarang tinggal menunggu pelanggan-pelanggan setianya. Kalau
diperhatikan, warung sederhana yang buka dari jam 4 sore sampai habis (biasanya
sekitar pukul 10 malam) tidak pernah sepi dari pelanggan, baik dari umat yang
sedang beribadah di kelenteng, masyarakat sekitar Jl. Kemenangan sampai
pelanggan-pelanggan lama yang tinggal di berbagai penjuru Jakarta silih
berganti mampir untuk mencoba nasi ulamnya. Tempat di halaman kelenteng juga
dianggap strategis oleh beliau, ditambah lagi pihak kelenteng sampai saat ini
tidak pernah menarik sewa untuk Pak Misjaya dapat berjualan di situ, malahan
pihak kelenteng sering membantu beliau dalam banyak hal.
![]() |
Cumi asin lauk nasi ulam , kalau kemalaman sudah kehabisan |
Tak heran bila
beliau harus menyediakan 40 liter beras perharinya untuk melayani tamu-tamunya.
Selain cerita sejarah dibalik Nasi Ulam yang sangat menarik seperti diceritakan
di atas, rasa Nasi Ulam Pak Misjaya yang tiada duanya menjadi magnet untuk
pelanggan-pelanggan setianya. Sebenarnya makanan ini sangat-sangat sederhana
dari segi bahan yang digunakan , nasi putih biasa kemudian di beri beberapa jumput
bihun goreng polos yang memakai bumbu sangat minimalis, lalu tambahan kacang
tanah goreng yang dihaluskan, rajangan timun, daun kemangi segar dan digarnish
dengan taburan bawang merah goreng,
kerupuk merah, emping dan sambal, tapi itu belum semuanya, letak rahasia
kelezatan Nasi Ulam ini sebenarnya ada pada kuahnya, nasi putih tersebut,
sebelum diberi asesoris macam-macam tadi disiram kuah kaldu kuning kecoklatan
yang benar-benar segar dan lezat. Nasi Ulam polos diatas masih bisa dinaikkan
derajat kelezatannya dengan “side-dish” pilihan seperti semur
telur/tahu/tempe/kentang, telur dadar, perkedel kentang , dendeng daging goreng
dan cumi asin goreng. Dua yang terakhir menjadi “side-dish” favorit
disini, dendeng daging (Pak Misjaya mempunyai pemasok terpercaya untuk dendeng
ini) yang manis tapi empuk dan cumi garing asin yang berisi telor cumi paling
banyak diminta pelanggan untuk menemani nasi ulamnya. Malahan untuk
menghasilkan dendeng goreng yang sempurna, Pak Misjaya harus menggoreng
sendiri, “kalau bukan saya yang goreng biasanya kurang enak dendengnya” begitu
ujar Pak Misjaya.
![]() |
Smoor - semur kentang, tahu, dan tempe pelengkap lauk nasi ulam |
Menarik, mungkin itu
kata yang tepat untuk melukiskan rasa nasi ulam ini, nasi yang berpadu dengan
kuah kaldu yang harum dan segar ditambah lagi dengan tekstur khas bihun goreng,
rajangan timun dan kacang tanah halus benar-benar membuat indera perasa kita
dimanjakan (ini termasuk mata, yang saat awal penyajian nasi ulam sudah dibuai
dengan komposisinya yang aneka warna dan bentuk). Penambahan sambal menjadikan
rasa nasi ulam ini menjadi komplet, asin, manis dan pedas. Belum lagi rasa khas
dari masing-masing side-dish yang disediakan.
![]() |
Sudut depan Kelenteng Toasebio tempat mangkan Nasi Ulam Babe Misjaya |
Bisa dibilang
pengaruh budaya-budaya luar sangat penting dalam pembentukan karakter kota
Jakarta, hal tersebut juga dapat dirasakan pada masakan nasi ulam ini. Dalam
piring tersebut bercampur pengaruh-pengaruh kuliner luar seperti kacang tanah
halus, bihun dan cumi asin yang merupakan pengaruh cina, pengaruh Belanda pada
“side-dish” aneka semur (dari masakan belanda “Smoor”) yang berdampingan secara
serasi dengan bahan local seperti daun kemangi, kerupuk dan emping.
Hal yang lebih
mengagumkan lagi, makanan yang lezat dan bersejarah ini sangatlah bersahabat
dari segi harga. Nasi Ulam polos dibandrol 4000 rupiah*, side-dish semur tahu,
tempe dan kentang dihargai seribu rupiah, semur telur dan telur dadar seharga
1500 rupiah dan yang paling mahal dendeng goreng manis dan cumi asin goreng
dapat dibeli seharga 2000 rupiah. Tidak sampai sepuluh ribu rupiah anda sudah
bisa puas makan disini, selain kenyang anda juga menikmati sejarah kuliner
berusia puluhan tahun. Usahakan makan di tempatnya, anda bisa sambil berkhayal
seperti apa tenpat ini puluhan tahun yang silam dan juga puluhan tahun yang
akan datang. Saya berharap dalam
khayalan saya, puluhan tahun yang akan datang masih bisa mengajak anak-cucu
untuk menikmati lezatnya nasi ulam ini, seperti Cek Lam Seng yang berbuat baik
meneruskan usahanya, semoga Pak Misjaya juga dapat menemukan cara untuk
melestarikan kekayaan kuliner yang satu ini.
*Tulisan 2002/2003
No comments:
Post a Comment