Thursday, February 12, 2015

Nasi Ulam Toasebio, sebuah akulturasi budaya di Batavia



"Warisan Cek Lam Seng"

 Daerah Jalan Kemenangan III dekat Jalan Gajah Mada terletak di tengah-tengah kawasan yang sering disebut sebagai Kota . Kawasan Kota yang juga bisa dibilang pecinannya Jakarta mempunyai banyak sekali kekayaan di bidang kuliner yang tak terlepaskan dari kehidupan masyarakat Jakarta. Salah satu dari kekayaan kuliner itu adalah Nasi Ulam Betawi di halaman Kelenteng Toasebio.

Gerobak Nasi Ulam Babe Misjaya di pintu Kelenteng Toasebio
 Dimulai pada tahun 1964, saat itu seorang pedagang nasi ulam keturunan Cina asal Kampung Bebek (masih di daerah kota) bernama Cek Lam Seng mulai memperluas usaha nasi ulamnya dengan mempekerjakan tiga orang pemikul bernama Syarif, Aheng dan Misjaya. Ketiga orang pemikul ini menjadi andalan untuk menjajakan nasi ulam keluar masuk kampung saat itu. Tahun 1965 Cek Lam Seng menghibahkan usaha pikulan nasi ulam itu kepada ketiga pemikul tadi, dari pikulan beserta peralatan, modal untuk membeli bahan makanan beserta resep asli diserahkan oleh Cek ini kepada pegawainya untuk dapat mandiri meneruskan usaha ini.

Babe Misjaya asal Tangerang, satu-satunya mantan pegawai Cek Lamseng yang masih bertahan berjualan nasi ulam
 Bapak Aheng salah satu dari ketiga pemikul tadi sempat berjualan nasi ulam di bilangan Pasar Ikan sampai akhir hayatnya, Pak Syarief sudah lama berhenti berjualan dan sekarang menjadi Kyai di jawa, tinggal Bapak Misjaya, yang sampai sekarang masih berjualan di Halaman Kelenteng Toasebio di Jalan Kemenangan III. 

Akulturasi dalam sepiring nasi ulam, komponen oriental cumi asin dan dendeng serta kacang tumbuk, hidangan smoor pengaruh Belanda, dan komponen lokal dari daun kemangi, emping dan kuah aromatik
Bapak asal Tangerang ini sekarang sudah tak perlu memikul dagangannya , dengan dibantu 4 orang pegawainya, dia sekarang tinggal menunggu pelanggan-pelanggan setianya. Kalau diperhatikan, warung sederhana yang buka dari jam 4 sore sampai habis (biasanya sekitar pukul 10 malam) tidak pernah sepi dari pelanggan, baik dari umat yang sedang beribadah di kelenteng, masyarakat sekitar Jl. Kemenangan sampai pelanggan-pelanggan lama yang tinggal di berbagai penjuru Jakarta silih berganti mampir untuk mencoba nasi ulamnya. Tempat di halaman kelenteng juga dianggap strategis oleh beliau, ditambah lagi pihak kelenteng sampai saat ini tidak pernah menarik sewa untuk Pak Misjaya dapat berjualan di situ, malahan pihak kelenteng sering membantu beliau dalam banyak hal.

Cumi asin lauk nasi ulam , kalau kemalaman sudah kehabisan
Tak heran bila beliau harus menyediakan 40 liter beras perharinya untuk melayani tamu-tamunya. Selain cerita sejarah dibalik Nasi Ulam yang sangat menarik seperti diceritakan di atas, rasa Nasi Ulam Pak Misjaya yang tiada duanya menjadi magnet untuk pelanggan-pelanggan setianya. Sebenarnya makanan ini sangat-sangat sederhana dari segi bahan yang digunakan , nasi putih biasa kemudian di beri beberapa jumput bihun goreng polos yang memakai bumbu sangat minimalis, lalu tambahan kacang tanah goreng yang dihaluskan, rajangan timun, daun kemangi segar dan digarnish dengan taburan bawang merah goreng,  kerupuk merah, emping dan sambal, tapi itu belum semuanya, letak rahasia kelezatan Nasi Ulam ini sebenarnya ada pada kuahnya, nasi putih tersebut, sebelum diberi asesoris macam-macam tadi disiram kuah kaldu kuning kecoklatan yang benar-benar segar dan lezat. Nasi Ulam polos diatas masih bisa dinaikkan derajat kelezatannya dengan “side-dish” pilihan seperti semur telur/tahu/tempe/kentang, telur dadar, perkedel kentang , dendeng daging goreng dan cumi asin goreng. Dua yang terakhir menjadi “side-dish” favorit disini, dendeng daging (Pak Misjaya mempunyai pemasok terpercaya untuk dendeng ini) yang manis tapi empuk dan cumi garing asin yang berisi telor cumi paling banyak diminta pelanggan untuk menemani nasi ulamnya. Malahan untuk menghasilkan dendeng goreng yang sempurna, Pak Misjaya harus menggoreng sendiri, “kalau bukan saya yang goreng biasanya kurang enak dendengnya” begitu ujar Pak Misjaya. 

Smoor - semur kentang, tahu, dan tempe pelengkap lauk nasi ulam
Menarik, mungkin itu kata yang tepat untuk melukiskan rasa nasi ulam ini, nasi yang berpadu dengan kuah kaldu yang harum dan segar ditambah lagi dengan tekstur khas bihun goreng, rajangan timun dan kacang tanah halus benar-benar membuat indera perasa kita dimanjakan (ini termasuk mata, yang saat awal penyajian nasi ulam sudah dibuai dengan komposisinya yang aneka warna dan bentuk). Penambahan sambal menjadikan rasa nasi ulam ini menjadi komplet, asin, manis dan pedas. Belum lagi rasa khas dari masing-masing side-dish yang disediakan.

Sudut depan Kelenteng Toasebio tempat mangkan Nasi Ulam Babe Misjaya
 Bisa dibilang pengaruh budaya-budaya luar sangat penting dalam pembentukan karakter kota Jakarta, hal tersebut juga dapat dirasakan pada masakan nasi ulam ini. Dalam piring tersebut bercampur pengaruh-pengaruh kuliner luar seperti kacang tanah halus, bihun dan cumi asin yang merupakan pengaruh cina, pengaruh Belanda pada “side-dish” aneka semur (dari masakan belanda “Smoor”) yang berdampingan secara serasi dengan bahan local seperti daun kemangi, kerupuk dan emping.

 
Kacang tumbuk memberikan tesktur dan rasa khas pada Nasi Ulam Babe Misjaya ini

Hal yang lebih mengagumkan lagi, makanan yang lezat dan bersejarah ini sangatlah bersahabat dari segi harga. Nasi Ulam polos dibandrol 4000 rupiah*, side-dish semur tahu, tempe dan kentang dihargai seribu rupiah, semur telur dan telur dadar seharga 1500 rupiah dan yang paling mahal dendeng goreng manis dan cumi asin goreng dapat dibeli seharga 2000 rupiah. Tidak sampai sepuluh ribu rupiah anda sudah bisa puas makan disini, selain kenyang anda juga menikmati sejarah kuliner berusia puluhan tahun. Usahakan makan di tempatnya, anda bisa sambil berkhayal seperti apa tenpat ini puluhan tahun yang silam dan juga puluhan tahun yang akan datang. Saya berharap dalam khayalan saya, puluhan tahun yang akan datang masih bisa mengajak anak-cucu untuk menikmati lezatnya nasi ulam ini, seperti Cek Lam Seng yang berbuat baik meneruskan usahanya, semoga Pak Misjaya juga dapat menemukan cara untuk melestarikan kekayaan kuliner yang satu ini.


*Tulisan 2002/2003 

No comments:

Post a Comment